KOTA SORONG, SUARAPAPUA.com — Greenpeace Indonesia dalam focus group discussion (FGD) yang diadakan Jumat (24/9/2021) merekomendasikan pemerintah provinsi dan daerah untuk segera mendorong kebijakan khusus terhadap perlindungan pangan lokal Papua.
Dalam FGD bertajuk ‘Memahami pola konsumsi dan produksi pangan masyarakat adat Papua’ yang menghadirkan narasumber dari LSM dan akademisi Papua dan Papua Barat, menyimpulkan terjadinya perubahan pola produksi dan konsumsi bagi masyarakat adat Papua yang dinilai sebagai masalah serius dan mesti didorong sampai kepada pemerintah daerah untuk mengambil kebijakan khusus demi melindungi pangan lokal Papua dari ancaman pemusnahan dan lainnya.
Agus Sumule, dosen Fakultas Pertanian Unipa, saat menyampaikan materinya melihat pola konsumsi masyarakat Papua telah berubah. Masyarakat Papua sudah mulai terbiasa dengan makanan instan seperti biscuit, mie instan, ikan kaleng, dan beras. Pangan lokal seperti sagu, petatas dan lainnya mulai dilupakan.
“Kita tahu bahwa masyarakat kita sudah terbiasa dengan beras dan makanan instan, makanan yang diimpor dari luar. Itu mudah dapat di mana-mana. Apakah itu baik? Apa yang harus kita lakukan? Sebaiknya, itu kita hentikan,” ujarnya.
Agus juga bahkan menghitung berapa persen orang Papua yang sehari-hari konsumsi pangan lokal dengan bertani skala kecil untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.
“Perhitungan saya, orang yang hidup tanpa makan nasi di Papua 49%, Papua Barat 25%. Siapa itu mereka. Mereka adalah OAP, orang asli Papua ,dan sedikit orang non Papua yang resisten bertani secara skala kecil untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Ada 2,47 juta orang di Papua. 15.000 di Papua Barat dan 1,75 juta orang di Papua yang secara potensial bisa kelaparan jika terjadi sesuatu yang lebih serius dari pandemi Covid-19 karena mereka ini benar-benar tergantung pada konsumsi nasi,” beber Agus.
Sejatinya, kata Sritina Novreta Paulina Paiki, dosen Fakultas Unipa, Tanah Papua memiliki banyak aneka pangan lokal yang bernilai gizi mulai dari sayur-mayur, daging di hutan, ikan di laut, dan bahan pangan lainnya dapat memenuhi gizi keluarga dan mencegah kemungkinan bencana kelaparan.
“Kita punya sagu, terus ulat sagu itu tinggi protein. Ada keladi, petatas, pokem dari Biak mempunyai kualitas tepungnya lebih baik dari tepung terigu. Ikan gabus, ikan laut yang berlimpah, daging-daging buruan di hutan. Semua itu sebenarnya menjadi sumber potensi gizi yang sangat baik. Gizi buruk dan kelaparan sebenarnya tidak terjadi di Papua karena kita mempunyai potensi pangan lokal yang sangat berlimpah,” tutur ibu Tina.
Beragam makanan lokal mampu memenuhi ketahanan pangan dan gizi yang baik tanpa perlu pangan baru seperti raskin. Sayangnya, belakangan terjadi perubahan dan sifat ketergantungan.
“Konsumsi pangan lokal lebih baik. Tetapi sekarang mulai berubah. Orang mengaku belum makan kalau belum makan nasi, padahal sejam yang lalu sudah makan ubi rebus atau papeda,” kata Paiki.
Roni Wang dari WWF Indonesia yang selama ini mendampingi masyarakat adat Papua mengatakan, pemerintah daerah belum mempunyai kebijakan melindungi pangan lokal Papua. Akibatnya, pola makan dan produksi pangan lokal sudah berubah.
Menurut Rony, jika ada kebijakan jelas baik berupa Perda atau SK Bupati/Walikota tentang pangan lokal, pola produksi dan konsumsi pangan lokal Papua tetap terjaga.
Kenyataan ini disesalkan Moses Sawaki, lantaran hingga kini belum ada kebijakan konkrit untuk menyelamatkan pangan lokal di tengah kehidupan sosial masyarakat adat Papua.
Moses memaklumi para petani lokal Papua tidak bisa berkembang karena tidak ada kebijakan untuk mereka.
“Pemerintah daerah menerima proyek industri pangan, tetapi sampai saat ini petani Papua tidak disiapkan sumber daya ataupun kemampuannya dalam mengolah pangan lokal,” ujarnya.
Pola pertanian masyarakat adat Papua, kata Moses, berbeda. Budaya bertani Papua adalah campur berbagai jenis tanaman di satu lahan, sedangkan dari luar adalah pertanian monoculture. Hal tersebut mempengaruhi pola produksi dan konsumsi masyarakat adat Papua.
“Pemerintah jangan menghapus budaya bertani Papua. Seharusnya itu dipertahankan dan terus dikembangkan karena ini ciri khas bertani masyarakat adat Papua,” ujar Sawaki.
Pewarta: Maria Baru
Editor: Markus You
Greenpeace Indonesia Rekomendasikan Kebijakan Proteksi Pangan Lokal Papua – Suara Papua - Suara Papua
Kelanjutan artikel disini