Salah satu pengungsi Rohingya, Yasmin Fatoum, kehilangan anaknya usai warga Aceh menolak kapalnya.

Sumber gambar, Haryo Wirawan/BBC

"Ketika saya sampai pertama kalinya ke Indonesia, saya punya dua anak. Ketika warga lokal mendorong kembali kapal kami, satu anak saya meninggal dunia di kapal karena kekurangan makanan dan sakit."

Yasmin Fatoum tertunduk lesu kala melontarkan ceritanya ketika ditemui BBC News Indonesia di tempat penampungan pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Aceh.

Perempuan berusia 25 tahun itu merupakan salah satu dari 265 pengungsi Rohingya yang kapalnya sempat dua kali ditolak warga saat hendak berlabuh di Tanah Rencong pada pertengahan November lalu.

Warga Aceh menolak kapal Rohingya.

Sumber gambar, Getty Images

Setelah bertaruh nyawa mengarungi lautan dari kamp pengungsian di Bangladesh, mereka akhirnya mendekat ke pesisir Bireuen pada 16 November.

Namun, ketika mereka hendak mendekat ke bibir pantai, warga menolak dan meminta para pengungsi Rohingya untuk kembali lagi ke kapal.

Mereka hanya membekali pengungsi dengan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas, kemudian melepas kembali para pengungsi ke laut lepas.

"Saya dapat dua botol air, dua biskuit. Saya berikan ke anak saya," ujar Yasmin.

Meski demikian, bantuan dari warga itu tak cukup untuk ratusan orang yang memadati kapal. Kondisi kesehatan mereka sendiri sudah menurun setelah berhari-hari mengarungi lautan tanpa makanan yang cukup, kata Yasmin.

Dalam sekejap, seluruh bantuan dari masyarakat sudah lenyap. Dalam kelaparan, mereka pun kembali mengarungi lautan hingga mencapai pesisir Aceh Utara.

Di sana, mereka kembali ditolak. Saat itu, kondisi salah satu anak Yasmin sudah sangat parah karena kekurangan asupan.

"Saya tidak punya air dan makanan, jadi saya memberikan air laut kepada anak saya," tutur Yasmin, sembari menahan air matanya yang sudah mengambang di pelupuk.

"Setelah meminum air asin itu, kondisi anak saya memburuk dan dia meninggal. Kami tidak bisa melakukan apa-apa dan saya melarung anak saya ke laut."