Alih-alih mampu beradaptasi dan menunjukkan marwah di mata dunia—terutama dalam geliat riset, reproduksi ilmu pengetahuan, dan publikasi karya ilmiah—masih banyak ditemukan oknum sivitas akademika di kampus lokal yang melakukan berbagai tindakan kontraproduktif dan mencederai etika akademik. Di antaranya, plagiarisme, perjokian guru besar, cheating, dan berbagai perbuatan tidak terpuji lain.
Bahkan, kampus lokal ditengarai para peneliti masih terjebak pada urusan administratif dan terlilit arus tsunami kebijakan yang senantiasa berubah; selain persoalan kesejahteraan dosen yang belum memadai dan sepadan dengan tuntunan tridarma: mengajar, meneliti, dan mengabdi kepada masyarakat.
Dengan demikian, disadari atau tidak, kenyataan ini berdampak sistemik pada kampus lokal dalam membangun atmosfer akademik dan melakukan akselerasi menuju kampus bertaraf internasional.
Baca juga : Hendak ke Mana Pendidikan Tinggi Indonesia?
Mencari jalan keluar
Menyikapi fenomena tersebut, solusi apa yang bisa ditawarkan agar tak terjadi proses delegitimasi kampus lokal?
Meminjam analisis Magdalena Bexell dkk dalam tulisan The Politics of Legitimation and Delegitimation in Global Governance (2022), sebuah institusi pemerintahan, termasuk dunia kampus, perlu senantiasa menjaga legitimasi dan kepercayaan dari masyarakat luas.
Untuk bisa menjaga dengan baik sumber legitimasi dan perilaku yang dapat meningkatkan persepsi para pemangku kepentingan (stakeholder), perlu proses seperti pengelolaan yang baik, menunjukkan sikap positif, dan komunikasi yang baik dan kritis.
Berbagai kritikan/masukan dari para ahli yang konstruktif terkait sistem dan tata kelola kampus lokal—yang dianggap masih terasa kaku, membelenggu, dan memberatkan kinerja dosen—perlu didengar dan dievaluasi oleh pemerintah dan pemangku kebijakan pendidikan.
Relevan dengan keperluan ini, pemerintah harus segera menerapkan sebuah sistem pendidikan yang humanis, lentur, visioner, dan bermutu. Sebuah sistem pendidikan yang baik, andal, merata (no one left behind), berkualitas, dan dengan tetap memperhatikan kesejahteraan guru dan dosen.
Mengenai pro-kontra terkait kebijakan pemerintah yang mensyaratkan penulisan artikel di jurnal bereputasi dan terindeks Scopus atau Web of Sciences—untuk kenaikan pangkat guru besar bagi setiap dosen di perguruan tinggi— sungguh kebijakan ini bagi yang belum terbiasa menulis dengan standar ilmiah dan jurnal bereputasi internasional pasti dirasa sangat memberatkan dan menimbulkan kegalauan berkepanjangan.
Bahkan, terdapat sebagian ahli yang keras menolak karena dianggap pendidikan hanya menghamba pada pasar, komersialisasi ilmiah, dan kapitalisasi akademik. Mengatasi masalah ini, pemerintah tidak boleh tinggal diam, harus segera hadir dan meyakinkan masyarakat bahwa kebijakan ini semata hanya ingin mendongkrak mutu dan kualitas dosen di tingkat internasional. Hal ini mengingat kedua pengindeks itu bisa dikatakan barometer intelektual dan alat ukur pemeringkatan ilmiah dari lembaga riset dan perguruan tinggi di dunia.
Perlu kebijakan keberpihakan
Gagasan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) yang dulu ingin membuat program sabbatical leave harus segera ditindaklanjuti. Apalagi, Mendikbudristek Nadiem Makarim juga pernah mengharapkan agar para dosen rajin cuti mengajar dan membangun networking untuk memperkaya ilmu dan melakukan kerja-kerja riset di luar kampus.
Semua ini sangat diperlukan agar setiap dosen punya ruang relaksasi untuk merenung dan mempersiapkan dengan baik kerja-kerja riset. Kemudian juga bisa menulis dengan serius, sesuai standar jurnal bereputasi internasional. Jika kebijakan ini dilakukan secara masif dan berkelanjutan serta diikuti dengan reward dan peningkatan dana penelitian, pasti kampus lokal bisa bersanding dan sejajar dengan kampus dunia.
Jika kebijakan ini dilakukan secara masif dan berkelanjutan serta diikuti dengan reward dan peningkatan dana penelitian, pasti kampus lokal bisa bersanding dan sejajar dengan kampus dunia.
Selain itu, setiap pemimpin dan rektor kampus perlu segera membuat kebijakan keberpihakan untuk meningkatkan profesionalitas sivitas akademika, dengan menerapkan sistem birokrasi efektif dan accessible serta membuat program prioritas; menciptakan budaya ilmiah (the organization climate).
Kebijakan yang menggairahkan dan memunculkan self esteem atau motivasi kerja dan riset. Strategi yang bisa diterapkan ialah dengan mengawal secara penuh dari proses penelitian, mengintensifkan klinik-klinik penulisan artikel jurnal, membuat program residensi penulisan publikasi ilmiah di luar negeri.
Kampus perlu mendesain kerja-kerja kolaboratif dengan luar negeri agar tercipta transmisi ilmu pengetahuan dan memungkinkan bisa saling belajar teknik penulisan karya tulis ilmiah yang baik. Tak kalah penting, kampus perlu menghidupkan kembali asosiasi bagi ilmuwan sebagai wadah para ilmuwan serumpun melakukan sharing, dialog, dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan jadi proofreader artikel yang akan dikirim ke jurnal-jurnal bereputasi.
Pertanyaannya, apakah para dosen dari kampus lokal mampu bersaing dan menunjukkan langkah konkret, di antaranya dengan memperkuat output dan outcome di bidang akademik—untuk memperkuat legitimasi dan kepercayaan masyarakat luas? Jawabannya, sangat mungkin dan jangan selalu memandang sebelah mata kualitas kampus lokal!
Masih banyak SDM kampus dalam negeri yang sangat mumpuni dan senantiasa melakukan jihad intelektual. Apalagi, jika menyelisik dengan cermat, pada 2016, meski dengan segala keterbatasan sarana dan prasarana, para dosen dari kampus lokal mampu menyumbangkan artikel yang dipublikasikan di jurnal terindeks Scopus. Menariknya, terjadi peningkatan 10 persen dari tahun sebelumnya.
Bahkan, pada 2018, jurnal-jurnal terbitan Indonesia yang terindeks Scopus bertambah 25 persen. Pada 2019, seperti penjelasan Lukman (Kompas, 25/3/2019), perkembangan terbitan ilmiah terus meningkat; terdapat 47 jurnal sudah bereputasi internasional terindeks Scopus. Kurang dari 3.000 jurnal terakreditasi nasional dan lebih dari 57.000 terdaftar mengajukan International Standard Serial Number (ISSN).
Pada 2019, Indonesia menempati posisi pertama pencapaian publikasi ilmiah internasional dan paten di ASEAN. Pada tahun 2020, di PTKI telah tercatat 7.197 hak cipta; meliputi 3.669 dari UIN, 3.077 IAIN, 59 STAIN, dan 393 PTKIS.
Belajar dari jurnal PTKI
Bahkan, jika belajar dari jurnal Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) yang notabene punya pendanaan yang kecil, pada 2020, jurnal bidang religious studies (kajian keagamaan) peringkat ke-1 sampai ke-5 se-Asia semua dari Indonesia dan dikelola PTKIN. Secara berurutan, jurnal-jurnal itu ialah (1) Journal of Indonesian Islam (Q1), (2) Qudus International Journal of Islamic Studies (Q1), (3) Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (Q1), (4) Studia Islamika (Q1), dan (5) Al-Jami’ah (Q2).
Pada 2023, jurnal ilmiah di lingkungan PTKI terus unjuk prestasi. Data Kementerian Agama, terdapat enam jurnal yang kini menduduki peringkat 10 besar Asia dalam bidang kajian keagamaan.
Jurnal itu ialah (1) Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS), IAIN Salatiga (peringkat ke-1); (2) Journal of Indonesian Islam (JIIS), UIN Sunan Ampel Surabaya (peringkat ke-2); (3) Qudus International Journal of Islamic Studies (QIJIS), IAIN Kudus (peringkat ke-3); (4) Studia Islamika, PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (peringkat ke-4); (5) Islamic Guidance and Counseling Journal, Institut Agama Islam Maarif Nahdlatul Ulama (IAIMNU) Metro Lampung (peringkat ke-6); dan Al-Jami’ah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (peringkat ke-9).
Semua pihak—pemerintah, pemimpin kampus, seluruh sivitas akademika—perlu memikirkan dan berkontribusi nyata demi keberlanjutan jurnal bereputasi internasional dan menjaga iklim kebebasan akademik.
Ditambah lagi, terdapat jurnal terbitan Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN Walisongo Semarang bernama Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi juga menorehkan prestasi di kancah internasional. Dalam usianya yang masih relatif muda, jurnal ini memperoleh peringkat terbaik ketiga di Asia dan telah meraih peringkat Q4 (quartile 4) dengan lingkup applied psychology, clinical psychology, dan experiment and cognitive psychology oleh Scimago Journal and Country Rank (Scimagor).
Semua prestasi akademik itu perlu disyukuri, dirawat, dan dijadikan bukti otentik; masih berdenyutnya jantung akademik dan tak adanya lonceng kema- tian kampus lokal. Semua pihak—pemerintah, pemimpin kampus, seluruh sivitas akademika—perlu memikirkan dan berkontribusi nyata demi keberlanjutan jurnal bereputasi internasional dan menjaga iklim kebebasan akademik.
Sebab, perguruan tinggi hebat itu bukan sekadar punya bangunan fisik yang megah dan bertingkat, melainkan harus mempunyai tempat untuk senantiasa menyuarakan kebenaran dan kebebasan mimbar akademik, serta didukung dengan capaian hasil riset yang bermutu, publikasi ilmiah, dan mempunyai jurnal-jurnal bereputasi internasional.
Syamsul Ma’arif Guru Besar, Dekan FPK UIN Walisongo, dan Pengasuh Pesantren Riset Al-Khawarizmi Semarang
Mewaspadai Delegitimasi Kampus Lokal - kompas.id
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar