Dunia perfilman Iran sejak puluhan tahun silam telah bertransformasi menjadi negara penyumbang film unggulan di panggung internasional. Tak sedikit film mereka berhasil menoreh prestasi di ajang film bergengsi.
Sebut saja A Separation (2012) dan The Salesman (2017), film garapan Asghar Farhadi peraih piala Oscar untuk kategori Best Foreign Language Film. Begitu pula dengan Taste of Cherry (1997) yang menyabet piala Palme d'Or, penghargaan tertinggi Cannes Film Festival.
Tiga film itu sebagian kecil bukti bahwa film Iran terus berjaya secara global. Jika ditelisik lebih dalam, ada sejumlah formula yang sebenarnya bisa jadi pembelajaran bagi penentu keputusan dan pelaku industri film Indonesia.
Akademisi Film Institut Kesenian Jakarta Satrio Pamungkas saat berbincang dengan CNNIndonesia.com menerangkan bahwa kekuatan film Iran terletak pada kesadaran masyarakat film terhadap sebuah karya.
Cara berpikir intelektual di ekosistem film Iran disebut telah unggul, sehingga mereka dapat melahirkan karya berkualitas.
"Kenapa mereka bisa kuat? Karena masyarakat filmnya, mulai dari pembuat, penonton, pemangku kebijakan, pemodal, kreator, dan semua yang terlibat dalam dunia film, mereka itu sudah sadar betul tentang cara berpikir intelektual terhadap sebuah karya," kata Satrio.
Kesadaran itu terlihat dari identitas kuat yang tercermin dari hampir seluruh film Iran. Menurut Satrio, Iran mempunyai gaya dan bentuk film yang "bercerita tentang sosial".
A Separation (2012). Dunia perfilman Iran sejak puluhan tahun silam telah bertransformasi menjadi negara penyumbang film unggulan di panggung internasional. (dok. Asghar Farhadi Productions/Dreamlab Films /MPA APSA Academy Film Fund/Memento Films via IMDb)
|
Identitas itu juga dimiliki oleh negara raksasa film lainnya. Amerika Serikat mempunyai Hollywood yang termasyhur, kemudian diadopsi oleh India dengan konsep Bollywood.
Begitu pula Prancis dengan aliran impresionisme yang erat dengan tampilan warna dan cahaya, atau Jerman dengan gerakan kreatif bernama ekspresionisme yang berkembang pada 1920-an.
Identitas kolektif seperti itu sayangnya masih samar di ekosistem film Indonesia. Belum ada nilai bersama yang disepakati oleh masyarakat film dari hulu ke hilir.
Hal itu kemudian diperparah dengan ruang kreatif para pembuat film yang kerap diintervensi pemodal. Hal ini dianggap berbeda dengan yang ada di Iran.
Satrio menyebut bahwa para pemodal di Iran menghargai hak intelektual kreator sehingga pembuat film bebas menuangkan idenya tanpa intervensi.
"Dari sisi ruang bisnis mereka, secara sistem, mereka [Iran] semua sadar betul bahwa film ini adalah hak intelektual dari kreator. Kalaupun ada investor, pencari dana, atau klien, itu yang mengikuti hak intelektual kreatif dari kreator," kata Satrio.
The Song of Sparrows (2008). Satrio menyebut bahwa para pemodal di Iran menghargai hak intelektual kreator sehingga pembuat film bebas menuangkan idenya tanpa intervensi.
(dok. Majid Majidi Film Production via IMDb) |
"Berbeda dengan kita [Indonesia], kita itu seolah-olah investor itu ikut andil dalam sisi penggarapan film. Sehingga film itu arahnya berbeda-beda," sambungnya.
Intervensi pemodal dalam penggarapan film kerap membuat nilai-nilai kreativitas ikut tergeser. Dialog dalam proses kreatif tak pelak diisi obrolan tentang uang, keuntungan, jumlah penonton, hingga laku atau tidaknya film yang akan digarap.
Satrio mengungkapkan bahwa sebetulnya masih ada sutradara yang mampu mengendalikan ruang kreatif tanpa campur tangan pemodal. Sutradara tersebut umumnya sudah punya reputasi dan jumlahnya hanya segelintir.
Selain dari sisi kreator dan bisnis, industri film Indonesia juga dianggap perlu memperhatikan keberadaan para penonton. Industri film juga perlu memberikan pengetahuan demi memperluas cara berpikir penonton.
Perhatian itu perlu diberikan agar penonton juga ikut berkembang seiring dengan kemajuan kualitas dari film yang digarap. Dengan demikian, akan tumbuh hubungan yang saling mendukung antara pembuat film dengan penonton.
Children of Heaven (1997). Satrio menyebut bahwa para pemodal di Iran menghargai hak intelektual kreator sehingga pembuat film bebas menuangkan idenya tanpa intervensi.
(dok. Kanun parvaresh fekri (The Institute for the Intellectual Development of Children & Young Adults)/New Films International via IMDb) |
Film berkualitas membutuhkan penonton yang mampu mengonsumsinya. Begitu pula dengan penonton berintelektual yang membutuhkan film berkualitas.
"Saya rasa kita juga harus mencerdaskan masyarakat film, mencerdaskan dan mengajak semua untuk bijak dalam menonton film," kata Satrio.
"Jadi bisa melahirkan ekosistem atau atmosfer dunia film yang kita tidak lagi takut akan lahirnya karya-karya yang tidak berkualitas," sambungnya.
Hingga pada akhirnya, film yang berhasil tidak hanya dinilai dari kualitasnya, tetapi juga seberapa besar film itu bisa memberikan dampak bagi masyarakat.
(frl/end)Belajar dari Iran Demi Kemajuan Film Lokal - CNN Indonesia
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar