DPR memasukkan Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sebagai salah satu prolegnas prioritas bersama dengan 39 RUU lainnya. Melihat ke depan, belum dapat dipastikan pembahasan pasal-pasal tentang penyiaran bernasib sama dengan tahun-tahun silam, atau berbuah manis menjadi UU Penyiaran yang baru.
Bahasan tentang penyiaran sedikit banyak telah dibahas dalam UU Ciptakerja, kendati proporsinalitas bahasannya sarat akan paradigma ekonomi (bisnis). Hal ini menimbulkan ketidakpuasan; penyiaran dipandang sebatas bisnis tidak akan merobek jala problematik penyiaran. Tak heran, banyak kalangan menunggu RUU Penyiaran dibahas untuk disahkan.
UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang akan direvisi bisa menjadi pelengkap determinasi bisnis dalam UU Cipta Kerja. Revisi ini perlu berangkat dari kebutuhan sosiologis dan kemajuan teknologi yang merestrukturisasi penyiaran secara mendasar. Tafsir, fungsi, serta karakteristik penyiaran telah mengalami perluasan dan teratribusi di beberapa platform media over the top (OTT). Apalagi, platform media OTT memang tidak tersentuh regulasi seintim televisi dan radio.
Di satu sisi, kehadiran media OTT menambah alternatif akses informasi. Publik mempunyai ragam pilihan konten dari banyaknya media. Senada dengan yang dikatakan McChesney (Puji Rianto, 2021) bahwa media yang banyak akan melahirkan keberagaman dan demokrasi yang kuat. Tetapi, tanpa jaminan perlindungan publik, pandangan tersebut akan menjadi paradoks. Perubahan teknologi yang membaur erat dengan realitas sosial, mustinya dibangun beriringan dengan perlindungan publik. Dari sinilah muncul pendapat perlunya regulasi terhadap media OTT. Kesetaraan dalam bisnis, terlebih pengawasan konten, mencuat ke permukaan.
Regulasi yang Lentur
Penyiaran termasuk juga demokratisasi penyiaran tidak hadir secara given. Ia bukan sesuatu yang berdiri mapan. Penyiaran berkembang sangat dinamis. Tahun 2000-an, perkembangan media tidak secepat seperti yang sekarang terjadi. Televisi dan radio masih menjadi primadona, hadir di ruang-ruang keluarga, berdiri di pojok rumah, serta ikut serta dalam banyak hal tentang diskursus pendidikan, sosial, ekonom,i dan lain sebagainya.
Saat ini, informasi yang dulu hanya terdistribusi melalui televisi dan radio misalnya, kini bertranformasi di layar sentuh. Di kamar mandi, di tempat pribadi sekalipun, setiap orang dibanjiri informasi dan bisa mengaksesnya sekali ketuk. Fakta sosiologis yang demikian tampaknya harus dipertimbangkan dalam penyusunan Revisi UU tentang Penyiaran.
Platform media baru mau tidak mau harus diturunkan lebih detail dan dikategorikan sebagai penyiaran, dengan beberapa pengecualian. Aplikasi game, atau komunikasi seperti WhatsApp bukanlah termasuk ke dalamnya. Sehingga, hanya platform audio-visual atau video on demand (VOD)yang perlu dirumuskan di dalam tafsir penyiaran.
Selain hal di atas, perlindungan publik harus menjadi isu utama revisi. Ini tidak determinan berlaku untuk VOD atau media konvensional, tetapi keduanya harus memiliki konsentrasi dalam hal perlindungan publik. Jika saat ini ada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran sebagai pedoman radio dan televisi, maka untuk VoD juga seharusnya mempunyai pedoman serupa.
Catatannya, perlindungan publik ini tidak mensimplifikasi narasi besar kebebasan berekspresi, kreativitas dan inovasi, karena ketiga hal ini juga termasuk entitas yang perlu dilindungi. Artinya, perlindungan publik tidak hanya menyaring konten-konten yang dinilai tidak layak dikonsumsi publik, tetapi juga kreativitas, inovasi, dan kebebasan berekspresi merupakan bagian dari jaminan perlindungan publik itu sendiri.
Isu Lain
Revisi UU Penyiaran selain mempertimbangkan perluasan akan definisi penyiaran, ada dua hal yang menurut hemat saya perlu dimasukkan. Pertama, terkait pluralisme konten, yakni konten lokal. Kedua, penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Ada alternatif pendekatan dalam memahami konten lokal. Jika dulu konten lokal adalah kewajiban televisi berjaringan, maka dengan alih teknologi dari analog ke digital, kian menambah kemungkinan luasnya konten lokal tayang dengan porsi yang lebih besar. Tetapi, bukan menambah kewajiban televisi berjaringan untuk menyiarkan konten lokal, melainkan ada insentif untuk menjamin keikutsertaan TV lokal dalam penyelenggara atau penyewa mux.
Ketersediaan mux bagi televisi lokal mustinya tidak lagi menjadi halangan untuk tumbuh dan berkompetisi. Syaratnya, penyelenggara mux berlaku adil dan transparan serta adanya jaminan atau insentif dari pemerintah untuk TV lokal. Misalnya, TV lokal diprioritaskan dalam sewa mux dengan mendapatkan subsidi, atau dengan harga yang lebih murah. Dengan demikian, industri penyiaran di aras lokal bisa merealisasikan tidak hanya ketersediaan konten lokal, tetapi menghidupkan kepemilikan industri televisi lokal sekaligus kegiatan ekonomi di dalamnya.
Selain itu adalah penguatan kelembagaan KPI. Sudah menjadi bahasan umum bahwa tali koordinatif antara KPI Pusat dan KPI Daerah menjadi bara dalam sekam. Dipaksa untuk melakukan pengawasan dan penguatan industri penyiaran di tiap daerah masing-masing, tetapi secara bersamaan penganggaran dan dukungan sekretariatan sangat bergantung pada belas kasihan lembaga lain.
Perluasan tafsir penyiaran, penguatan konten lokal, serta penguatan kelembagaan KPI tampaknya akan menjadi penutup yang paripurna jika dituntaskan dalam tahun ini, menyusul suntik mati TV analog pada 2 November 2022. Semoga!
Ahmad Riyadi asisten Ahli Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, aktif di Lingkar Informasi Politik (LIRIK)
Simak juga 'KPI Akui Gagal Lindungi Karyawannya dari Kasus Pelecehan Seksual':
(mmu/mmu)Perluasan Takfsir Penyiaran, Konten Lokal, dan Penguatan KPI - detikNews
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar