Rechercher dans ce blog

Jumat, 28 Januari 2022

Fikih Lokalitas: Pertautan Islam dan Kearifan Lokal - detikNews

Jakarta -

Persoalan terkait Islam dan kearifan lokal tampaknya akan menjadi isu klasik di Indonesia. Peristiwa penendangan sesajen yang viral beberapa waktu lalu membuktikan asumsi tersebut. Peristiwa ini menandai masih adanya problem mendasar ihwal bagaimana hukum Islam (fikih) menyikapi kearifan lokal. Dalam leksikon studi Islam, fikih dimaknai sebagai seperangkat ilmu dalam syariat Islam yang membahas tentang berbagai persoalan hukum dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Mulai dari kehidupan pribadi, sosial, dan kehidupan beragama.

Semua umat Islam bisa dipastikan pernah mendengar dan akrab dengan istilah fikih. Namun, sayangnya belum semua umat Islam memahami hakikat fikih. Pada titik tertentu, banyak umat Islam yang masih menyamakan antara fikih dan syariat. Padahal, keduanya memiliki perbedaan signifikan. Dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Syariah, pakar hukum Islam Abdullah Ahmed an Naim mengidentifikasi empat perbedaan fikih dan syariah.

Pertama, syariah berlaku tetap (al-tasbit), sedangkan fikih akan selalu dinamis, cair, dan berubah seiring perkembangan zaman (al-mutaghayyirah). Kedua, syariah tertuang dalam Alquran dan hadis, sedangkan fikih merupakan produk hukum yang dihasilkan dari penafsiran atas teks-teks tersebut. Ketiga, syariah hanya satu, sebaliknya fikih memiliki banyak aliran dan percabangan. Keempat, cakupan syariah ialah masalah akidah, sementara fikih lebih pada aturan instrumental dalam kehidupan manusia. Kelima, syariat murni berasal dari Allah, berbeda dengan fikih yang merupakan hasil ijtihad manusia.

Fikih Kontekstual

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa fikih ialah sesuatu yang dinamis dan kontekstual. Artinya, sebuah hukum idealnya tidak hanya dihasilkan dari pembacaan atas teks tertulis, namun juga berangkat dari realitas sosial dan budaya masyarakat. Inilah yang diistilahkan sebagai fikih lokalitas. Yakni, rumusan hukum Islam yang tidak hanya didasarkan pada aspek tekstual, namun juga realitas kontekstual, terutama aspek kebudayaan dan kearifan lokal yang ada di masyarakat.

Gagasan ihwal fikih lokalitas ini relevan dan urgen dikembangkan dalam konteks Indonesia. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara multi-religi dan multikultur. Mempertimbangkan kehadiran tradisi (adat) di dalam pemikiran hukum Islam Indonesia menjadi satu keniscayaan. Sebab syariat Islam menganut asas persamaan.

Egalitarianisme Islam memandang semua masyarakat adalah sama di hadapan Tuhan. Jadi, semua 'urf (adat) dari setiap masyarakat dapat menjadi sumber hukum, tidak hanya 'urf dari masyarakat Arab saja. Islam datang tidak dimaksudkan untuk menghapus kebudayaan dan syariat agama yang sudah ada, selama ia tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam, yakni tauhid. Dengan demikian, semua 'urf dalam batas-batas tertentu akan selalu dapat diterima sebagai sumber hukum Islam.

Titik Temu

Fikih lokalitas berangkat dari sebuah kesadaran bahwa Islam dan budaya pada dasarnya saling terintegrasi satu sama lain. Di mana pun Islam berkembang, niscaya ia akan selalu bersentuhan dengan kebudayaan dan kearifan lokal setempat. Bahkan, ketika pertama kali turun di Jaziran Arab pun, Islam banyak menyerap nilai budaya dan kearifan lokal masyarakat Arab pra-Islam. Menjadi tidak mengherankan jika banyak ajaran dalam Islam yang bernuansa kearab-araban. Misalnya, perintah zakat fitrah dibayar dengan gandum atau kurma yang notabene merupakan makanan pokok masyarakat Arab.

Konstruksi fikih lokalitas ini kiranya juga bisa menjadi titik temu antara dakwah Islam dan kearifan lokal. Seperti kita tahu, aktivitas dakwah Islam kerap kali berbenturan dengan tradisi yang berakar dari kearifan lokal. Di satu sisi, dakwah Islam tentu berkepentingan untuk menjaga akidah Islam agar tetap terjaga kemurnian dan kesuciannya. Di sisi lain, Islam juga memiliki komitmen untuk mengayomi kebinekaan dan merawat kearifan lokal.

Konstruksi fikih yang tidak hanya berangkat dari teks Alquran namun juga dari realitas sosial-budaya memungkinkan terwujudnya kesadaran bahwa Islam tidak pernah menganulir eksistensi kearifan lokal. Bahkan, dalam sejarahnya, Islam sangat adaptif dan akomodatif pada kearifan lokal. Dengan kesadaran itu, diharapkan akan terbangun jembatan yang menghubungkan antara jembatan antara dakwah Islam di satu sisi dan kearifan lokal di sisi lain. Dengan begitu, maka peristiwa penendangan sesajen seperti terjadi di Lumajang itu tidak perlu terulang kembali di masa depan.

Nurrochman alumnus Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

(mmu/mmu)

Adblock test (Why?)


Fikih Lokalitas: Pertautan Islam dan Kearifan Lokal - detikNews
Kelanjutan artikel disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gibran Puji Ganjar yang Pakai "Brand" Lokal, Yenny Wahid: Memang Suka dari Dulu - Kompas.com - Nasional Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar -Mahfud merespons positif soal calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gib...