“Parfum, kalau dalam bahasa Aceh Minyeuk Pret, yang terinspirasi dari bahasa indatu zaman,” kata Warehouse Production Minyeuk Pret Muhammad Ichtiar di Banda Aceh, kemarin.
Minyeuk Pret berdiri pada April 2015. Seorang pemuda Aceh bernama Daudy Sukma yang memanfaatkan potensi nilam di bumi Serambi Mekkah itu melalui pengembangan sebagai parfum.
Salah satu zat utama dalam pembuatan Minyeuk Pret ialah nilam. Dan kopi menjadi salah satu pilihan varian aroma, bersama dengan aroma esensial lain yang identik dengan Aceh seperti Seulanga, Meulu, kemudian varian Sanger Espersso, Jeumpa dan Kamaliah.
“Jadi kita memang ingin mengangkat budaya lokal Aceh, makanya ada pilihan aroma seperti bunga Seulanga, Meulu yang identik dengan Aceh. Apalagi kopi, yang memang sudah terkenal sebagai produk unggulan Aceh,” kata Ichtiar.
Minyeuk Pret hadir bukan hanya sebagai brand usaha parfum, tetapi juga dengan misi sosial untuk mengembangkan sumber daya di Aceh. Tentu, dengan harapan dapat meningkatkan perekonomian dan mengharumkan nama Aceh di pasar global.
Terbukti hingga kini, parfum Minyeuk Pret tidak hanya dijual di dalam negeri, tetapi juga hingga ke luar negeri seperti Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Timur Leste dan beberapa negara lainnya.
Parfum itu diproduksi dengan tetap menjaga kualitas sesuai standar, dan dikemas dalam botol 30 hingga 50 mililiter. Pembeli bisa mendapatkan produk Minyeuk Pret melalui sistem daring (online) maupun luring (offline), dengan mendatangi langsung tokonya di Banda Aceh.
Sejak awal berdiri, kata Ichtiar, memang produk Minyeuk Pret telah dipasarkan secara daring, dan terus mewarnai pasar digital hingga sekarang.
“Untuk saat ini memang penjualan paling bagus dari online. Produk kita sudah ada di beberapa marketplace seperti Shopee, lazada, bukalapak, tokopedia, juga facebook ads, instagram, dan lainnya,” kata Ichtiar.
“Yang best seller itu Seulanga, kemudian kopi, baru Meulu. Jadi untuk parfume aroma kopi permintaannya bagus, dominan juga,” katanya lagi.
Pandemi
Pandemi COVID-19 memberi dampak begitu besar terhadap penjualan Minyeuk Pret. Sebelum pandemi, kata Ichtiar, pihaknya bisa memproduksi Minyeuk Pret mencapai 3.000 pcs dalam sebulan, dari kapasitas maksimal produksi 6.000 pcs.
“Tapi selama pandemi ini rata-rata per minggu kita produksi sekitar 300-500 pcs, dari tiga varian aroma esensial itu. Selama pandemi, penjualan secara digital memang sangat membantu tapi daya belinya yang kurang saat ini,” katanya.
Sementara itu, CEO Minyeuk Pret Daudy Sukma mengatakan penurunan penjualan memang begitu terasa selama pandemi. Penurunan drastis terjadi pada awal-awal munculnya virus corona, kemudian mulai sedikit membaik pada hari raya Idul Fitri dan Idul Adha 1441 Hijriah.
“Tapi tetap tidak lebih baik seperti sebelum pandemi COVID-19. Artinya sekarang membentuk kurva baru, kita kehilangan sekitar 35-40 persen penjualan, turun (penjualan) sampai ribuan pcs per bulan,” kata Daudy.
Meski di tengah pandemi, kata Daudy, pihaknya tetap masih fokus memasarkan produknya ke luar negeri seperti Amerika Serikat dan Malaysia. Katanya, pengiriman Minyeuk Pret ke dua tujuan negara itu bisa mencapai 300-500 pcs per bulan.
“Kita disana (Amerika Serikat dan Malaysia) sudah punya warehouse,” katanya.
Minyeuk Pret berkomitmen untuk terus menjaga kualitasnya dengan mengedepankan kearifan lokal. Bahan baku untuk pembuatan parfum dari berbagai varian aroma itu dipasok langsung dari distributor yang ada di Aceh.
“Seperti kopi, kita pakai kopi Gayo. Standar dari kita tetap kopi Gayo, belum pernah coba kopi lain. Kita bekerjasama dengan pihak ketiga, pabrik besar di Tanggerang, yang mengolah kopi dan hasil destilasi kopinya baru dikirim kesini dan dijadikan parfum,” katanya.
Disamping itu, Daudy juga berharap agar banyak anak-anak muda Aceh yang terinspirasi dan mulai mencoba berwirausaha dengan tetap membawa budaya lokal.
Dukungan
Kepala Bidang Usaha Mikro dan Kecil Dinas Koperasi dan UKM Aceh Surya mengatakan hingga kini tercatat sebanyak 212.676 UMKM di Aceh. Dari data itu terbagi dari usaha menengah 2.723 unit, usaha kecil 40.780 unit dan usaha mikro sebanyak 169.173 unit.
“UMKM ini terus tumbuh di Aceh selama pandemi ini, terutama usaha mikro yang data awalnya itu 68.946 unit dan sekarang menjadi 169.1873 unit, mungkin akan bertambah lagi,” kata Surya.
Surya menyebutkan pertumbuhan UMKM di Aceh terbagi dalam beberapa sektor, seperti perdagangan, pertanian, pertambangan, industri, perikanan, transportasi dan peternakan.
“Dan yang paling menonjol saat ini saya rasa, kopi. Karena kopi kita saat ini sudah berhasil ekspor. Sekarang saya perhatikan, UMKM ini walaupun hanya menghasilkan kopi misalnya 1 ton, tapi mereka tetap rutin mengekspor ke buyer-buyer,” katanya.
Dari ribuan UMKM, menurut Surya, produk Minyeuk Pret menjadi salah satu usaha yang menonjol, dari pemanfaatan sektor perkebunan dengan bahan baku kopi. Hal itu dinilai menarik karena selama ini kopi indentik dengan aneka minuman, tetapi kini tersaji dalam sebuah aroma parfum.
“Di Aceh yang paling menonjol, salah satunya Minyeuk Pret ini. Karena memang Minyeuk Pret ini memiliki aroma khas, ada kopi, seulanga, sanger dan berbagai macam lagi,” katanya.
Pemerintah tidak menutup diri terhadap UMKM di Aceh. Pihaknya akan terus membantu, apabila ada masyarakat ingin mengembangkan usahanya, mulai dari bimbingan sektor produksi, pemasaran, pengemasan, digitalisasi dan berbagai hal lain.
“Kalau dukangan dari pemerintan (terhadap Minyek Pret), kita pernah memberikan berupa bimtek, terkait dengan pemasaran, digitalisasi, dan beberapa hal lain. Jadi kita pemerintah tidak berpangku tangan terkait UMKM di Aceh ini. Apa yang bisa kita bantu, maka tetap kita bantu,” katanya.
Sementara itu, Gubernur Aceh Nova Iriansyah pembukaan Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BB) Ragam Aceh, Rabu lalu, mengatakan bahwah sebagian besar lahan kopi di Aceh dikelola oleh masyarakat, sebagai penopang kuat pertumbuhan ekonomi Aceh.
“Sekitar 80 persen kopi arabika di tanah Gayo dikelola oleh masyarakat, dan sisanya dikelola oleh korporat. Jadi ini keberhasilan Aceh mengembangkan kopi arabika, identik dengan keberhasilan rakyat dalam mengoptimalkan sumber daya alamnya,” kata Nova.
Kopi arabika Gayo memiliki cita rasa yang khas, yang terdapat di dataran tinggi Gayo dengan ketinggian sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut.
Lebih dari 60 persen produk kopi arabika Gayo itu telah berhasil menembus pasar Eropa dan Amerika Serikat. Dari total seluruh produk kopi arabika premium dalam negeri, 40 persennya berasal dari dataran tinggi Gayo.
“Data ini jelas menunjukkan bahwa kopi Gayo sangat digemari di negara kita di seluruh bagian Asia Tenggara dan tentu di seluruh dunia. Wajar jika kopi Gayo juga menjadi kebanggaan nasional kita,” kata Nova.
Di samping itu, lanjut Nova, terdapat puluhan UMKM dan koperasi lain di Aceh yang bergerak dalam usaha pengembangan kopi Gayo, di bawah binaan Dinas Koperasi dan UKM serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh.
Tentu setiap pengolahan produksi lokal itu selalu mendapatkan pengawasan. Bersamaan dengan itu juga pemerintah melakukan pelatihan onboarding bagi produk lokal untuk menjajaki pasar digital.
“Melalui berbagai onboarding ini diharapkan UMKM Aceh akan mampu meningkatkan kompetensi dan kapasitas usahanya sehingga penjualan produk melalui e-commerce bisa lebih meningkat,” katanya.
“Peluncuran kampanye gerakan nasional bangga buatan Indonesia kali ini sangat kami harapkan dapat memperkuat peranan UMKM agar semakin siap menghadapi persaingan di era digital,” katanya lagi.
Target 32 juta UMKM
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan pemerintah menargetkan 32 juta unit UMKM onboarding ke digitalisasi hingga 2024.
“Kita punya target sampai 2024 itu ada 32 juta UMKM untuk masuk di sistem digital,” kata Luhut saat peluncuran Gernas BBI Ragam Aceh #PasarLautIndonesia di Banda Aceh.
Selama ini semua jajaran baik dari pariwisata, UMKM telah menunjukkan kerja yang cukup bagus dalam memacu percepatan digitalisasi UMKM.
“Sekarang saya kira kerja tim, baik dari tim pariwisata maupun UMKM itu sudah berjalan cukup bagus. Saya fikir sudah hampir masuk 15,5 juta (onboarding UMKM), jadi saya kira cukup bagus,” kata Luhut.
Secara khusus, Luhut meminta Aceh memanfaatkan dengan baik segala potensi alam yang ada di daerah Tanah Rencong itu, baik dari sektor pariwisata, kelautan perikanan, perkebunan, serta sektor pengembangan energi.
“Aceh ini secara khusus, hebat, punya pertanian seperti kopi Gayo dengan luasnya lebih 50 ribu hektare, super kaya ikan disini, pariwisata serta energi disini cukup banyak, tapi saya titip supaya kita kerjasama bagus,” kata Luhut.
Pewarta: Khalis Surry
Editor: Royke Sinaga
COPYRIGHT © ANTARA 2021
Minyeuk Pret, produk UMKM lokal Aceh yang mendunia - ANTARA
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar