Nabi Muhammad Saw termasuk tokoh perintis pemberian pengakuan dan apresiasi terhadap kearifan lokal (local wishdoms). Kehadiran Nabi beserta ajaran yang dibawanya tidak serta merta berhadapan dengan tokoh-tokoh masyarakat lokal dengan kearifan lokal yang dianutnya. Bahkan Nabi mempertautkan antara kearifan lokal dengan ajaran substansial agama Islam.
Indahnya hubungan antara universalitas Islam dan dan keunikan budaya lokal dijelaskan oleh S.H. Nasser dalam buku kecilnya Ideal and Realities of Islam. Buku ini menguraikan sinkronisasi antara nilai-nilai Islam yang bersifat universal dan budaya dan peradaban lokal. Satu sama lain tidak saling mengorbankan tetapi saling mengisi dan sangat menguntungkan untuk dunia kemanusiaan. Menurutnya, antara keduanya tidak perlu diperhadap-hadapkan karena nilai-nilai universal Islam bersifat terbuka, dalam arti feleksibel dan dapat mengakomodir berbagai nilai-nilai lokal. Bukti keterbukaan itu, Islam dapat diterima dari Timbektu, ujung barat Afrika sampai Merauke, ujung Timur Indonesia. Peradaban Islam adalah peradaban kemanusiaan.
Disebut apa saja peradaban itu asal sejalan dengan nilai-nilai universal, atau yang biasa juga disebut ajaran dasar Islam, dapat diterima sebagai peradaban Islam. Mungkin memang pada awalnya ada suatu masa penyesuaian tetapi masa itu tidak perlu terlalu lama karena esensi nilai-nilai Islam sejalan dengan asas kemanusiaan. Tidak heran jika Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw dapat menyaksikan sendiri ajaran agama yang dibawanya menyebar ke berbagai penjuru dunia. Menurut Thomas Carlile, tidak ada seorang tokoh selain Nabi Muhammad yang mampu menyaksikan ajaran yang dikembangkannya dianut hampir separuh belahan dunia.
Misi peradaban Nabi Muhammad Saw bukan memulai dari nol atau membangun sesuatu dari awal, tetapi bagaimana melestarikan yang sudah baik dan mengembangkan yang masih sederhana, dan mengkreasikan sesuatu yang belum ada. Ini dipertegas dalam hadis Nabi: Innama bu'itstu li utammi makarim al-akhlaq (Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mumulia). Tamma berarti menyempurnakan yang sudah ada dan akhlaq ialah sebuah kreasi yang positif, apakah itu berupa benda atau non benda. Dengan demikian, nilai-nilai lokal tidak perlu terancam dengan kehadiran Islam. Kearifan lokal sesungguhnya juga adalah kearifan Islam. Dalam Islam, tidak mempertentangkan antara kearifan lokal dan nilai-nilai universal, yang penting untuk mengabdi kepada kepentingan kemanusiaan.
Ketegangan konseptual terjadi mana kala nilai-nilia universal difahami secara kaku di satu sisi, sementara di sisi lain berhadapan dengan fanatisme buta penganut nilai-nilai lokal. Pemandangan seperti ini sering terjadi tetapi biasanya dapat diselesaikan dengan kearifan tokoh penganjur kedua belah pihak. Titik temu atau jalan tengah biasanya diambil melalui persepakatan adat-istiadat setempat. Dalam Islam hal ini dimungkinkan karena penerapan nilai-nilai Islam tidak serta-merta harus dilakukan sekaligus. Tuhan Yang Maha Kuasa pun memberi waktu 23 tahun untuk turunnya keseluruhan ayat Al-Qur'an. Penerapan nilai-nilai Islam dikenal perinsip tadarruj, yaitu penerapan nilai-nilai secara berangsur, tahap demi tahap. Selain itu juga dikenal dengan sedikit demi sedikit (taqlil al-taklif) hingga pada saatnya menjelma menjadi nilai-nilai yang utuh.
Keutuhan nilai-nilai universalitas Islam dicapai melalui sinergi antara nilai-nilai lokal dengan ajaran dasar Islam. Islam dirasakan sebagai kelanjutan sebuah tradisi yang sudah mapan di dalam masyarakat. Bukannya menghadirkan sesuatu yang serba baru melalui penyingkiran nilai-nilai lokal. Bisa dibayangkan, bagaimana nilai-nilai local Minangkabau yang matriarchal bisa menyatu dengan nilai-nilai Islam yang cenderung patriarchal. Penyatuan kedua sistem budaya ini ternyata melahirkan sintesa kebudayaan yang indah, yang sering dilukiskan sebagai: Adat bersendi Syara', Syara' bersendi Kitabullah. Perjumpaan peradaban Islam dan nilai-nilai lokal sangat mengesankan. Meskipun asal-usul Islam berasal cukup jauh dari kepulauan Nusantara tetapi keduanya bisa berangkulan mesra satau sama lain.
Prof. Nasaruddin Umar
Imam Besar Masjid Istiqlal, Jakarta
Artikel ini merupakan kiriman pembaca detikcom. Seluruh isi artikel menjadi tanggungjawab penulis. (Terimakasih - Redaksi)
Memberi Pengakuan Kearifan Lokal - detikNews
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar