Rechercher dans ce blog

Senin, 04 Desember 2023

Rohingya Aceh: ditolak di Aceh, diteror geng di Bangladesh - 'Saat warga lokal tolak kapal kami, anak saya meninggal' - BBC.com

Salah satu pengungsi Rohingya, Yasmin Fatoum, kehilangan anaknya usai warga Aceh menolak kapalnya.

Sumber gambar, Haryo Wirawan/BBC

"Ketika saya sampai pertama kalinya ke Indonesia, saya punya dua anak. Ketika warga lokal mendorong kembali kapal kami, satu anak saya meninggal dunia di kapal karena kekurangan makanan dan sakit."

Yasmin Fatoum tertunduk lesu kala melontarkan ceritanya ketika ditemui BBC News Indonesia di tempat penampungan pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Aceh.

Perempuan berusia 25 tahun itu merupakan salah satu dari 265 pengungsi Rohingya yang kapalnya sempat dua kali ditolak warga saat hendak berlabuh di Tanah Rencong pada pertengahan November lalu.

Warga Aceh menolak kapal Rohingya.

Sumber gambar, Getty Images

Setelah bertaruh nyawa mengarungi lautan dari kamp pengungsian di Bangladesh, mereka akhirnya mendekat ke pesisir Bireuen pada 16 November.

Namun, ketika mereka hendak mendekat ke bibir pantai, warga menolak dan meminta para pengungsi Rohingya untuk kembali lagi ke kapal.

Mereka hanya membekali pengungsi dengan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas, kemudian melepas kembali para pengungsi ke laut lepas.

"Saya dapat dua botol air, dua biskuit. Saya berikan ke anak saya," ujar Yasmin.

Meski demikian, bantuan dari warga itu tak cukup untuk ratusan orang yang memadati kapal. Kondisi kesehatan mereka sendiri sudah menurun setelah berhari-hari mengarungi lautan tanpa makanan yang cukup, kata Yasmin.

Dalam sekejap, seluruh bantuan dari masyarakat sudah lenyap. Dalam kelaparan, mereka pun kembali mengarungi lautan hingga mencapai pesisir Aceh Utara.

Di sana, mereka kembali ditolak. Saat itu, kondisi salah satu anak Yasmin sudah sangat parah karena kekurangan asupan.

"Saya tidak punya air dan makanan, jadi saya memberikan air laut kepada anak saya," tutur Yasmin, sembari menahan air matanya yang sudah mengambang di pelupuk.

"Setelah meminum air asin itu, kondisi anak saya memburuk dan dia meninggal. Kami tidak bisa melakukan apa-apa dan saya melarung anak saya ke laut."

Yasmin terus tertidur lemas di pengungsian.

Sumber gambar, Hidayatullah

Kabar kematian anak itu sampai ke telinga para pengungsi lainnya di dalam kapal, termasuk Rohima, seorang perempuan penyandang disabilitas yang berlayar ke Aceh bersama tiga putranya.

"Saya sendiri membawa sejumlah makanan dari kamp [di Bangladesh], tapi empat anak meninggal di dalam kapal karena kekurangan makanan," tutur Rohima.

Setelah menerjang perairan, Rohima dan para pengungsi lainnya kembali merapat ke pesisir Bireuen. Kali ini, mereka diperbolehkan mendarat.

Saat itu, mesin perahu yang mereka tumpangi memang sudah rusak. Para pengungsi pun berlomba turun dari kapal, lantas berlari ke pesisir.

Ketika pengungsi lainnya dengan leluasa berlari, Rohima harus dipanggul oleh ketiga anaknya yang tertatih.

Kesulitan disabilitas meretas batas

Sejak lama, kaki Rohima memang bermasalah sehingga ia harus menggunakan penyangga untuk membantunya berjalan. Meski sudah memakai penyangga itu, Rohima masih kesulitan melangkahkan kakinya.

"Saya akhirnya dipanggul oleh anak-anak saya ke daratan," ucap Rohima sembari sesekali memegang kakinya.

Di Bireuen, para pengungsi berdiam tiga hari di Desa Lapang Barat. Sebagian dari mereka beristirahat di ruang terbuka beralas terpal di bawah pepohonan, sementara yang lainnya menempati bangunan tempat pelelangan ikan.

Setelah tiga hari, mereka diboyong bertahap menggunakan truk dan bus sekolah milik pemerintah Kabupaten Bireuen ke kamp pengungsian yang disediakan di bekas kantor imigrasi di Lhokseumawe.

Di pengungsian itu, mereka tidur berdesakan. Udara di dalam ruangan juga pengap karena beberapa jendela ditutup.

Di tengah ruangan, melintang tali yang digunakan untuk menjemur pakaian, membuat pergerakan kerap terhambat.

Dengan masalah di kakinya, Rohima tentu merasa ruang geraknya kian terbatas. Namun, ia mengaku lega dapat berada di tempat yang relatif aman ketimbang kamp di Cox's Bazar di Bangladesh.

Rohima menempuh perjalanan panjang hingga akhirnya tiba di Aceh.

Sumber gambar, Hanna Samosir/BBC

Tak hanya Rohima, sejumlah pengungsi Rohingya lainnya juga harus berupaya ekstra untuk dapat menginjakkan kaki di Tanah Rencong, salah satunya Muhammad Siddiq.

Bocah tunanetra itu harus melalui perjalanan panjang bersama ibunya, Zohora Begum, dan kedua adiknya dari kamp pengungsian di Bangladesh.

Mereka datang menggunakan kapal yang berbeda dari Rohima dan Yasmin. Ibu dan ketiga anak tersebut merupakan penumpang kapal pertama dari enam armada yang masuk ke Aceh dalam beberapa pekan terakhir.

Siddiq, rela mengarung laut demi dapat bertemu kembali dengan ayahnya, Zakaria, yang sudah lebih dulu menetap di Malaysia sejak 2015 silam.

Sebagai tunanetra, Siddiq tak bisa jauh-jauh dari ibu dan kedua adiknya selama perjalanan. Siddiq pun sempat panik ketika tiba-tiba badai menghantam kapal di suatu malam.

Sambil sesekali bersandar ke bahu ibunya, Siddiq bercerita, "Saat badai datang, saya merasa hilang arah. Saya pikir saya akan mati. Saya menangis dan sangat takut."

Begum dan Siddiq ditampung di gedung Yayasan Mina Raya, Pidie.

Sumber gambar, Hidayatullah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri dalam catatan di situs resminya mengakui bahwa saat ini, belum ada kerangka normatif yang memadai untuk menangani secara khusus pengungsi-pengunsi penyandang disabilitas.

UNHCR hanya pernah mengeluarkan seruan pada 2010 lalu agar negara-negara dan badan PBB lainnya melindungi dan membantu pengungsi penyandang disabilitas.

Kendati demikian, tak ada ketetapan resmi atau panduan cara yang tepat untuk menangani pengungsi yang menyandang disabiliatas.

PBB pun terus mendesak agar negara-negara anggota mau menyisihkan waktunya untuk memikirkan nasib para pengungsi disabiliatas yang mereka anggap masuk dalam kategori “sangat rentan”.

Bagaimana pun, para pengungsi saat ini tak dapat mengeluh. Lagipula, Begum sendiri mengatakan bahwa orang-orang di kapal terus membantunya untuk memastikan anaknya baik-baik saja.

Baca juga:

Begum pun menganggap masalah terbesar di dalam kapal bukanlah menjaga anak-anaknya.

"Kesulitan utamanya adalah menemukan makanan untuk mereka. Kami delapan hari di kapal, tapi hanya makan empat kali," katanya.

Setelah perjalanan panjang itu, Siddiq pun bahagia ketika mendengar suara lolongan dari kejauhan, pertanda daratan sudah dekat.

Ia bersama ibu dan kedua adiknya kemudian ditempatkan di penampungan sementara di gedung bekas Yayasan Mina Raya, Pidie.

Pengungsian melebihi kapasitas

Di sana, ibu dan ketiga anaknya itu harus tidur berimpitan, berbagi ruang dengan puluhan pengungsi lainnya di salah satu ruangan di Mina Raya. Sebagai pembatas ruang tidur, mereka memasang kain yang digantungkan di seutas tali.

Perwakilan UNHCR di Aceh, Faisal Rahman, mengakui bahwa penampungan pengungsi di Pidie dan Lhokseumawe memang melebihi kapasitas seharusnya.

Merujuk pada data UNHCR, Mina Raya saat ini menampung 480 pengungsi Rohingya, padahal gedung itu idealnya hanya dapat diisi 250-300 orang.

“Kalau melihat posisinya, di ruangan di sini memang sempit, tidak ada space. Di sana [Lhokseumawe] sementara menampung 500-an pengungsi, yang juga overcapacity,” kata Faisal saat ditemui di Mina Raya.

UNHCR lantas berkoordinasi dengan pemerintah untuk mencari tempat lain yang dapat digunakan untuk menjadi pengungsian, apalagi sejumlah laporan menyebut akan lebih banyak pengungsi Rohingya datang ke Aceh.

“Sudah ada dua tempat yang nantinya mungkin akan di-assess. Satu di Blang Ado, Aceh Utara, satu lagi di Scott Camp Pramuka di Saree, di sini,” ucap Faisal.

Pengungsian di Lhokseumawe melebihi kapasitas.

Sumber gambar, Hidayatullah

Perwakilan Satuan Tugas Penanganan Pengungsi Luar Negeri dari Kementerian Koordinator bidang Hukum, Keamanan, dan HAM, Benny M Saragih, juga sudah sempat melongok lokasi pengungsian di Aceh.

Benny mengakui bahwa pengungsian di Mina Raya dan Lhokseumawe memang melebihi kapasitas seharusnya.

"Nanti mungkin mana yang bisa kita jadikan [pengungsian] tunggu instruksi dari pusat,” kata Benny.

Indonesia sendiri sebenarnya tak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. Dengan demikian, Indonesia tidak berkewajiban menampung pengungsi, apalagi memberikan solusi permanen.

Kendati demikian, Benny memastikan bahwa pemerintah akan memproses pengungsi yang sudah tiba di Indonesia sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.

"Ketika sudah masuk wilayah Indonesia, harus kita layani dengan baik karena alasan kemanusiaan," tutur Benny.

Dalam keterangan terbaru, Persiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Mahfud MD untuk menangani gelombang kedatangan pengungsi Rohingya di Aceh.

"Saya telah memerintahkan kepada Menkopolhukam untuk menangani bersama-sama dengan daerah, bersama-sama dengan UNHCR," kata Jokowi kepada wartawan, Senin (04/12).

Siddiq dan keluarganya pun sudah merasa cukup lega dapat tinggal di penampungan sementara di Aceh. Kini, mereka hanya berharap dapat bertemu kembali dengan Zakaria.

Dugaan penyelundup manusia cari untung di tengah derita Rohingya

Zakaria sendiri sudah merencanakan pertemuan ini sejak jauh hari. Ia bahkan mengaku membayar agen penyelundup manusia untuk membawa istri dan anak-anaknya naik kapal dari Cox’s Bazar ke Aceh.

“Saya bayar Rp20 juta untuk mereka pergi naik kapal kayu,” kata Zakaria kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Ia rela merogoh kocek di tengah segala keterbatasan. Apa pun demi bertemu dengan keluarganya yang sudah terpisah bertahun-tahun.

"Saya di sini kerja serabutan saja, tak ada uang, dan baru sembuh sakit. Kalau ada uang, saya mau ketemu mereka," kata Zakaria.

Kisah Zakaria ini muncul di tengah gaduh dugaan kasus penyelundupan manusia di balik gelombang pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh dalam beberapa pekan belakangan.

Sejak pertengahan November lalu, lebih dari 1.000 pengungsi Rohingya membanjiri Tanah Rencong. Mereka datang dalam tujuh gelombang kapal.

Jumlah pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh.

Sumber gambar, Arvin Supriyadi/BBC

Ketika otoritas setempat pontang-panting mencari tempat penampungan untuk para Rohingya, kepolisian Aceh Timur menangkap seorang sopir truk yang diduga menyelundupkan 36 pengungsi.

Berdasarkan keterangan sopir truk itu, para Rohingya tersebut sebenarnya berangkat bersama rombongan berisi 275 orang yang menumpangi satu kapal besar. Namun kemudian, 36 pengungsi itu dipindahkan ke kapal yang lebih kecil.

Setibanya di daratan Aceh Timur pada 19 November, mereka dijemput dua truk mini yang sedianya bakal membawa mereka ke lokasi berikutnya.

Menurut Kapolres Aceh Timur, AKBP Andy Rahmansyah, sopir yang ditangkap mengaku dijanjikan uang Rp15 juta untuk menjemput Rohingya tersebut.

Andy menduga Indonesia bukanlah negara tujuan akhir 36 pengungsi Rohingya tersebut.

“[Mereka] dibawa ke provinsi lain. Dari provinsi lain, kita belum tahu mau dibawa ke mana karena kita belum melakukan penyelidikan karena masih terputus dengan saudara L tadi," ujarnya.

Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, indikasi sindikat penyelundup manusia mencari untung di tengah penderitaan para pengungsi sebenarnya sudah mulai terendus sejak 2015, ketika Rohingya mulai kabur akibat persekusi di Myanmar.

Peta perjalanan kapal Rohingya.

Sumber gambar, Arvin Supriyadi/BBC

Dirreskrimum Polda Aceh, Kombes Ade Harianto, membeberkan bahwa sejak 2015, jajarannya sudah menangani lebih dari 20 kasus dugaan penyelundupan pengungsi dengan total 24 tersangka.

“Modusnya hampir sama, yaitu Rohingya masuk ke Aceh kemudian mencari jalan untuk melarikan diri, khususnya ke Malaysia. Karena memang diduga sudah banyak saudara dan kerabatnya berada di Malaysia,” ucap Ade.

Tak diketahui pasti Zakaria memang membayar agen untuk mengantar keluarganya ke Malaysia atau tidak. Namun yang pasti, kisah Zakaria memperkuat dugaan campur tangan sindikat dalam deras arus pengungsi ke Aceh.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga mengakui bahwa kebaikan Indonesia yang masih terus mau menampung Rohingya kerap dimanfaatkan para penyelundup untuk kemonceran bisnis mereka.

Lembaga pemantau hak pengungsi Rohingya, Arakan Project, menganggap bisnis sindikat ini juga menjamur karena faktor yang mendorong para pengungsi dari kamp di Cox’s Bazar kian besar.

Direktur Arakan Project, Chris Lewa, mengendus indikasi ini dari proporsi jenis kelamin para pengungsi yang membanjiri Aceh. Sebelumnya, kapal-kapal Rohingya disesaki para pemuda yang ingin mencari kerja di Malaysia.

Para pengungsi sebenarnya tidak diperbolehkan bekerja di Malaysia. Banyak dari pengungsi itu lantas berjualan atau bekerja serabutan, seperti Zakaria.

Namun belakangan, fenomena itu berubah. Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat 70 persen pengungsi Rohingya yang datang kali ini merupakan perempuan dan anak, layaknya keluarga Zakaria.

"Itu menunjukkan bahwa faktor pendorong mereka untuk keluar dari Bangladesh sudah lebih kuat dibanding faktor ekonomi yang selama ini menarik mereka ke Malaysia. [Sekarang], yang penting mereka bisa keluar dari kamp," kata Lewa.

Bagaimana situasi di Bangladesh sekarang?

Tak hanya Arakan Project, lembaga swadaya yang dipimpin oleh pengungsi Rohingya, Youth Congress Rohingya (YCR), juga melaporkan bahwa situasi di kamp-kamp Bangladesh memang sangat buruk.

Situasi begitu buruk, sampai-sampai para pengungsi mengatakan bahwa kondisi Cox's Bazar lebih parah ketimbang di Myanmar, negara yang awalnya mereka hindari hingga harus kabur ke Bangladesh.

Di Cox's Bazar, kelompok-kelompok kriminal kerap bertikai untuk memperebutkan kekuasaan. Mereka juga acap kali meminta duit dari para pengungsi.

Jika tak mau memberikan uang, nyawa para pengungsi bisa melayang. Pengungsi penyandang disabilitas yang ditemui BBC di Lhokseumawe, Rohima Khatoum, tahu betul bahwa ancaman itu bukan omong kosong.

"Mereka menahan anak saya yang kecil, dan mengatakan kepada saya bahwa jika saya tidak memberikan uang, dia akan membunuhnya. Mereka sudah membunuh satu anak saya dan membuangnya ke toilet," ucap Rohima memicingkan matanya.

Rohima bersama beberapa pengungsi Rohingya lainnya.

Sumber gambar, Hanna Samosir/BBC

Yasmin yang selalu mengamati ketika Rohima bercerita juga ternyata membawa kisah kelam dari Bangladesh.

Sebelum kehilangan anaknya dalam perjalanan ke Aceh, ia sudah lebih dulu ditinggal saudaranya karena kekejaman kelompok-kelompok di Cox's Bazar.

Sembari menahan air mata yang sudah menggumpal di pelupuknya, Yasmin berkata, "Mereka membunuh saudara laki-laki saya. Suami saya punya tumor dan dia meninggal di kamp."

Perwakilan UNHCR Bangladesh, Sazzad Hossain, mengatakan bahwa pihaknya juga sudah mengetahui peningkatan kekerasan di kamp-kamp di Bangladesh.

"Kami mengetahui peningkatan jumlah insiden keamanan dan tim kami bersama rekan-rekan lainnya mencatat lebih dari 1.400 insiden perlindungan serius tahun ini," ujar Hossain kepada BBC News Indonesia.

Meski demikian, Hossain dan rekan-rekannya dari UNHCR tak berdaya. Menurutnya, hanya aparat negara setempat yang memiliki kewenangan untuk menindak pelaku kejahatan.

Ia khawatir situasi akan semakin runyam ke depannya, mengingat bantuan internasional bagi Rohingya juga berkurang hingga sepertiga pada tahun ini, menjadi hanya US$8 atau setara sekitar Rp123.000 per orang tiap bulannya.

"Situasi keamanan di kamp dan kesulitan pengungsi memenuhi kebutuhan dasar, ditambah solusi yang kurang dan eskalasi konflik di Myanmar saat ini, kemungkinan akan menambah keputusasaan yang memicu Rohingya melakukan perjalanan laut berbahaya," katanya.

Bara amarah warga tolak Rohingya

Setelah melalui perjalanan laut penuh rintangan di tengah keputusasaan itu, para Rohingya pun belum tentu dapat menjejakkan kakinya di daratan tujuan mereka.

Berdasarkan pantauan UNHCR, tren hingga 2020 menunjukkan para Rohingya memilih kabur ke Malaysia.

Namun kini, Negeri Jiran juga sudah mulai menolak kehadiran Rohingya. Banyak Rohingya lantas memilih menempuh perjalanan ke Indonesia.

Hati Yasmin dan para pengungsi Rohingya lainnya pun hancur ketika warga Aceh ternyata juga menolak kapalnya saat hendak berlabuh. Warga Aceh sendiri sebenarnya iba melihat pengungsi Rohingya.

Mereka sebenarnya sangat terbuka ketika gelombang-gelombang pengungsi Rohingya sebelumnya membanjiri Tanah Rencong. Namun, sikap beberapa pengungsi Rohingya setelah itu dianggap tak sesuai nilai-nilai setempat.

"Karena mereka sudah kita terima pun, mereka tidak bersyukur. Mereka buat masalah. Enggak enak lah," ujar seorang warga Lhokseumawe, Suryani.

Suryani mengeluhkan sikap sejumlah pengungsi Rohingya yang sering "kabur" dari tempat penampungan, kemudian berbuat onar.

Suryani mengeluhkan sikap Rohingya di Aceh.

Sumber gambar, Haryo Wirawan/BBC

Meski demikian, Faisal Rahman dari UNHCR mengatakan warga sering kali salah persepsi mengenai pengungsi.

Faisal menyatakan bahwa berdasarkan hukum internasional, hak-hak dasar pengungsi juga harus dipenuhi, termasuk hak untuk bergerak.

"Ada yang keliru sebenarnya. Mereka [pengungsi] itu sebenarnya hak-haknya sama dengan warga lokal sebagai seorang manusia yang bermartabat, bahwa mereka juga bebas bergerak," ucap Faisal.

"Ketika kemudian mereka berada di luar dan ada masalah, terjadi tindakan kriminal dan segala macam, prosesnya juga proses kriminal. Misalnya, dia mencuri, diproses sesuai hukum setempat."

Faisal pun menegaskan UNHCR akan menghormati regulasi yang ditetapkan pemerintah setempat, termasuk jika otoritas ingin para pengungsi tak diperbolehkan keluar penampungan.

"Kalau dari UNHCR perspektifnya kamp ini bukan penjara. Namun, ketika pemerintah maunya demikian, ya kita hormati. Kita kembalikan ke kebijakan pemerintah," ucap Faisal.

Pengungsi di Lhokseumawe diimbau tak keluar dari tempat penampungan.

Sumber gambar, Hidayatullah

Menurut Faisal, di Aceh sendiri saat ini berdiri empat tempat penampungan pengungsi Rohingya. Aturan yang diterapkan pemerintah setempat terhadap masing-masing tempat penampungan pun berbeda.

"Di Pidie tidak boleh ada pergerakan ke luar. Tidak diperbolehkan beraktivitas di luar. Itu kita hormati," kata Faisal.

"Untuk di Lhokseumawe belum ada ketetapan dari pemerintah. Untuk sementara kami minta ke pengungsi jangan dulu meminta terlalu banyak. Kita coba taati aturan yang ada. Tetap dulu di dalam kamp."

Namun, kebijakan UNHCR untuk memberikan hak asasi penuh terhadap pengungsi Rohingya ini justru menimbulkan masalah bagi Indonesia.

pengungsi rohingya

Sumber gambar, Hidayatullah

Kapolda Aceh, Achmad Kartiko, sampai-sampai mempertanyakan mengapa pengungsi Rohingya bisa sampai keluar dari penampungan di Bangladesh.

"Kita menemukan bahwa Rohingya ini sudah memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh dengan bahasa Bangladesh," kata Achmad, seperti dikutip Detik.

"Ini artinya apa? Ini bukan tanggung jawab pemerintah kita semata, tapi UNHCR harus memiliki tanggung jawab kenapa pengungsi itu bisa lolos dari Bangladesh sana."

Meski demikian, perwakilan UNHCR di Bangladesh, Sazzad Hossain, menegaskan bahwa penegakan hukum dan keamanan bukan tanggung jawab UNHCR, melainkan pemerintah.

"Kami mendukung otoritas Bangladesh dalam upaya memastikan keamanan di kamp, bersama rekan-rekan lokal dan internasional, kami memberikan layanan perlindungan bagi pengungsi, termasuk bantuan hukum, medis, dan konseling," tutur Hossain.

Aparat Bangladesh sendiri belakangan mulai memperketat keamanan di Cox's Bazar. AFP melaporkan bahwa kepolisian "menghentikan dan menahan 58 Rohingya" pada 25 November lalu.

Di mana ASEAN?

Namun, sepekan kemudian, tepatnya Sabtu (2/12) lalu, sebanyak 139 pengungsi Rohingya kembali mendarat di Kota Sabang, Aceh.

Melihat dinamika ini, para pengamat pun memperingatkan pemerintah bahwa akan lebih banyak pengungsi Rohingya datang ke Indonesia.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhamad Iqbal, mengatakan bahwa masalah ini memang tidak akan selesai jika penyebab akarnya belum dicabut, yaitu konflik berkepanjangan di Myanmar.

Sejumlah pengamat pun menyoroti peran ASEAN dan Indonesia sebagai ketua blok itu tahun ini.

Sejak kudeta pecah di Myanmar pada 2021, ASEAN sebenarnya sudah mendesak junta militer untuk menghentikan kekerasan berdasarkan lima poin kesepakatan (Five Points Consensus/5PC) mereka.

“Militer Myanmar mulanya setuju untuk mengimplementasikan kesepakatan itu, tapi sekarang saya rasa ASEAN pun sudah benar-benar buntu. Mereka hanya mengulang-ulang kesepakatan yang sama, tapi tidak ada progres,” tutur Lewa.

Jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan regional yang jelas untuk menangani pengungsi, Lewa khawatir negara-negara ASEAN akan kewalahan ketika krisis ini mencapai puncaknya.

Kondisi pengungsi di Cox's Bazar

Sumber gambar, Getty Images

Dalam posisi itu, Indonesia bisa saja menerapkan kebijakan untuk menghalau dan mengembalikan para pengungsi ke laut, seperti yang dilakukan Malaysia.

“Kalau Indonesia menerapkan itu, akan menjadi bencana. Lalu ke mana lagi mereka [Rohingya] harus berlabuh?” katanya.

Di tengah segala ketidakpastian ini, harapan Yasmin dan para pengungsi lainnya sangat sederhana.

"Saya ingin berdoa kepada Allah agar bisa mendapatkan tempat yang lebih luas karena tempat ini tidak memadai untuk semua orang," kata Yasmin.

Adblock test (Why?)


Rohingya Aceh: ditolak di Aceh, diteror geng di Bangladesh - 'Saat warga lokal tolak kapal kami, anak saya meninggal' - BBC.com
Kelanjutan artikel disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gibran Puji Ganjar yang Pakai "Brand" Lokal, Yenny Wahid: Memang Suka dari Dulu - Kompas.com - Nasional Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar -Mahfud merespons positif soal calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gib...