Rechercher dans ce blog

Senin, 20 Maret 2023

Eksistensi Pawang Hujan sebagai Kearifan Lokal - detikcom

Jakarta -

Masih tersimpan dalam ingatan, saat perhelatan Moto-GP 2022 di Sirkuit Mandalika Lombok-Nusa Tenggara Barat (NTB). Lokasi tersebut, sempat diguyur hujan sebelum pertandingan dimulai, pada Minggu 20 Maret 2022. Kondisi ini sempat membuat para pembalap kembali ke garasi masing-masing, menunggu hujan mereda.

Di tengah hujan deras, tiba-tiba tampak sosok Rara Isti Wulandari yang sempat viral di media sosial. Dia didapuk menjadi pawang hujan, yang turun tangan menghentikan hujan di Mandalika. Mengenakan safety helmet dan tidak menggunakan alas kaki, Rara melakukan ritual pengusiran hujan.

Penonton asing yang melihat dari siaran daring Moto-GP keheranan, serta bertanya-tanya atas apa yang dilakukan Rara. Aksinya ini bukanlah kali pertama ditunjukkan. Sebelumnya sudah dilakukan sejak hari pertama untuk membuat cuaca Mandalika bersahabat.

Pawang hujan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2017), adalah orang yang pandai menolak hujan. Umumnya, pawang hujan mengendalikan cuaca dengan memindahkan awan. Biasanya, jasa pawang hujan digunakan untuk acara-acara besar dan penting, seperti pernikahan, konser musik, bahkan untuk gelaran olahraga.

Menurut Rahardjo (2022), pawang hujan sudah ada sejak lama. Sejarah pawang hujan di Indonesia, dapat dirunut melalui berbagai tradisi di beberapa daerah. Peran pawang dalam menghentikan hujan secara ilmiah sulit dibuktikan, namun inilah salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Indonesia.

Kearifan lokal itu sendiri merupakan identitas atau kepribadian budaya sebuah bangsa, yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap, bahkan mengolah kebudayaan yang berasal dari luar/bangsa lain, menjadi watak dan kemampuan sendiri (Maryati dan Suryawati, 2017).

Berdasarkan latar belakang tersebut, Devin Aditia Yulianto siswa kelas IX MTs Negeri 7 Tulungagung Jawa Timur, tergerak untuk meneliti keberadaan pawang hujan, bertajuk Pawang Hujan: Kearifan lokal dan Eksistensinya di Tengah Masyarakat Modern pada 2022. Lokasi yang dipilih untuk penelitian, yaitu Kecamatan Ngantru, Kabupaten Tulungagung Provinsi Jawa Timur.

Menurutnya, Kabupaten Tulungagung Jawa Timur, adalah daerah yang masih mempertahankan pawang hujan, di tengah masyarakat modern. Dalam praktiknya, pawang hujan atau masyarakat Tulungagung menyebutnya Dongke, menggunakan dupa atau kemenyan. Kemudian, mengucapkan mantra-mantra yang dipercaya memiliki kekuatan magis.

Pawang hujan mampu memindahkan dan menahan hujan, dari suatu tempat ke tempat lain. Ritualnya menggunakan cara yang sifatnya metafisik, dan terbilang sulit dicerna akal sehat. Jasa pawang hujan, dianggap ampuh oleh sebagian masyarakat yang telah menggunakan jasanya. Pawang hujan juga, dianggap sebagai seseorang yang dipercaya memiliki ilmu gaib dalam mengendalikan cuaca, dengan cara memindahkan awan. Semakin banyak keberhasilan yang dilakukan pawang hujan, maka semakin kuat keyakinan masyarakat terhadap kemampuan pawang hujan.

Dari data yang berhasil dia kumpulkan, pawang hujan di Tulungagungagung masih eksis di tengah masyarakat modern. Hal ini ditunjukkan masih banyaknya masyarakat yang membutuhkannya, saat hajatan di musim hujan. Eksistensinya terkait dengan kepercayaan, tradisi, dan secara sosiologis keberadaan pawang hujan merupakan sebuah bentuk kearifan lokal.

Berbagai faktor penyebab pawang hujan masih dibutuhkan oleh masyarakat, yaitu pertama, kemampuan dan keberhasilannya dalam melakukan ritual, terbukti mampu menolak hujan. Kedua, biaya yang murah dan praktis. Ketiga, sebagai bagian dari tradisi dan faktor pola pikir masyarakat, yang mempercayai pawang hujan.

Hasil penelitian Devin, penyebab masyarakat percaya kepada pawang hujan, sebagai kearifan lokal yang menjadi bagian dari tradisi masyarakat. Menurut Mariane dalam Ramdani (2022), kearifan lokal memiliki fungsi salah satunya sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan. Dengan demikian, pawang hujan sebagai kearifan lokal bisa berfungsi sebagai kepercayaan masyarakat.

Ilmu pawang hujan bisa diperoleh melalui warisan dari leluhur, atau nenek moyang keluarga dengan ritual menggunakan alat sebagai media. Ada mantra khusus, dan pantangannya. Ketika mempelajari ilmu pawang hujan, tidak membutuhkan waktu yang lama. Ilmu itu diperolehnya secara singkat dari ibunya, sehingga saat diajari ia begitu cepat menerimanya.

Ada pula yang dipelajari dari seorang guru, cukup berdoa mendekatkan diri kepada Allah, dan tirakat. Terkait masalah waktu memperoleh ilmu pawang hujan, dalam mempelajarinya membutuhkan waktu yang cukup lama. Semua atas petunjuk atau instruksi dari sang guru, seperti harus melakukan puasa.

Di akhir penelitiannya Devin menyarankan, keberadaan pawang hujan perlu dilestarikan di tengah masyarakat modern. Pelestarian pawang hujan sebagai kearifan lokal, karena hal ini juga terkait dengan kepercayaan, tradisi, dan kekayaan budaya masyarakat.

Eksistensi pawang hujan di tengah masyarakat modern, dipengaruhi oleh faktor tradisi maupun pola pikir masyarakat. Selain meyakini kemampuan pawang hujan, masyarakat juga mempertimbangkan prediksi cuaca dari BMKG, yang didasari ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Masyarakat tetap memperhatikan ketentuan-ketentuan ajaran agama yang dianut, sehingga ilmu pawang hujan yang didapatkan atau diwarisi dari keluarga, bisa bermanfaat untuk kemaslahatan masyarakat.

Nani Suryani - Biro Komunikasi Publik, Umum dan Kesekretariatan BRIN

Simak Video "Sirkuit Jepang Diguyur Hujan, MotoGP Panggil Rara Sang Pawang Hujan"
[Gambas:Video 20detik]
(nwy/nwy)

Adblock test (Why?)


Eksistensi Pawang Hujan sebagai Kearifan Lokal - detikcom
Kelanjutan artikel disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gibran Puji Ganjar yang Pakai "Brand" Lokal, Yenny Wahid: Memang Suka dari Dulu - Kompas.com - Nasional Kompas.com

JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar -Mahfud merespons positif soal calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 Gib...