BICARA EKSPOR. Komisi B DPRD Provinsi Jateng berdiskusi bersama Disperindag Provinsi DIY, Selasa (5/4/2022), membahas mengenai regulasi dan pengelolaan ekspor produk lokal. (foto bintari setiawati)
YOGYAKARTA – Untuk menguatkan data dan informasi tentang tata kelola dan pemasaran produk ekspor produk pertanian, Komisi B DPRD Provinsi Jateng berdiskusi dengan Dinas Perindustrian & Perdagangan (Disperindag) Provinsi DIY, Selasa (5/4/2022). Dalam diskusi itu, dibahas mengenai regulasi dan pengelolaan ekspor produk lokal.
“Kami ingin mengetahui apakah di Jogja sudah ada perda atau belum tentang tata kelola pemasaran ekspor? Lalu, apa yang perlu dipersiapkan untuk mengekspor produk, apa pula yang harus disiapkan oleh pengekspor?,” tanya Sri Marnyuni, Wakil Ketua Komisi B kepada jajaran disperindag.
Sementara, Anggota Komisi B DPRD Provinsi Jateng Peni Dyah Purwitasari menanyakan soal peningkatan ekspor makanan dan minuman di DIY hingga standarisasi produk makanan. Sedangkan, Anggota Komisi B lainnya Sarif Abdilah menanyakan spesifikasi pasar yang potensial untuk mengirim ekspor.
“Pasar yang paling potensial dimana? Apa sesuai kebutuhan atau gimana? Cara pandangnya bagaimana?,” tanya Sarif.
Anggota Komisi B, Imam Teguh, juga menanyakan mengenai ekspor barang antik yang dilakukan Provinsi DIY. Sofwan Sumadi, Anggota Komisi B lainnya, juga menambahkan persoalan sertifikasi halal.
Menanggapi hal tersebut, Kabid Perdagangan Luar Negeri Disperindag Provinsi DIY Intan Mestikaningrum menjelaskan selama ini belum ada perda yang mengatur tata kelola untuk ekspor di DIY. Untuk persiapan ekspor, pihaknya harus tahu negara tujuan ekspornya terlebih dahulu.
“Negara sebagai pengimpor sudah ada perjanjian dengan kita atau belum. Lalu, nanti kami harus penuhi persyaratan barang yang akan diekspor atau nanti diimpor oleh negara sana. Ya, harus menenuhi standar internasional juga supaya bisa diterima di negara lain, baik kemasan maupun cara pemrosesannya,” jelas Intan.
Ina Soelistiana, Kepala Balai Karantina Pertanian Kelas II Yogyakarta, menjelaskan mengenai peningkatan ekspor makanan dan standarisasi produk makanan.
“Produk UMKM makanan dan minuman dari Jogja sangat kecil jumlah ekspornya karena sulit untuk sertifikasinya, tergantung kebutuhan masing-masing negara juga. Selain itu, kita bisa melihat itu melalui dokumen SKA (Surat Keterangan Asal) dan kebanyakan pegiat usaha menjual secara kuantitas masih dalam kapasitas kecil sehingga bentuk pengiriman melalui kurir dan tidak membutuhkan dokumen secara lengkap jadi tidak ter-record.” jelasnya.
Ia juga menambahkan, mengenai negara yang mudah untuk dimasuki, negara Asean dan negara-negara kecil seperti Barbuda dan Estonia.
“Negara Asean mudah karena punya kultur yang sama jadi nggak punya spesifikasi dan syarat terlalu tinggi. Atau, negara kecil seperti Barbuda dan Estonia. Yang kami baru tahu, negara-negara itu saat mencari data. Itu pinter-pinternya UMKM kita mencari market disana karena pemerintah belum bisa membantu mencarikan jadi pengusaha kecil yang mencari sendiri,” tambahnya.
Di DIY, lanjut dia, sampai sekarang belum ada aturan perundangan yang mengatur perlindungan ekspor barang antik. Dari data yang didapat, barang yang diekspor tidak selalu barang peninggalan.
“Seniman-seniman DIY banyak yang kreatif, jadi barang-barang itu adalah produk baru, lalu dimodifikasi sedemikian rupa hingga nampak seperti peninggalan. Karena, barang peninggalan secara aturan nasional dilindungi,” ujarnya.
Terkait sertifikasi halal yang baru, ia menilai hal itu tidak secara langsung diberlakukan. Apabila masih menggunakan sertifikasi halal lama, masih bisa digunakan sampai masa berlakunya habis.
“Namun, untuk pelaku usaha baru (dipersilahkan) menggunakan sertifikasi halal yang baru karena sertifikasi halal yang lama hampir beberapa negara tidak bisa menerimanya,” jelasnya. (bintari/ariel)
Diskusikan Ekspor Produk Lokal bersama Disperindag DIY - DPRD JATENG
Kelanjutan artikel disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar